Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Antologi Cerpen-Puisi: Menilik Lahirnya Buku dari Ruang Perkuliahan

Tiga buku antologi cerpen dan satu puisi, karya mahasiswa PAI Unugiri. (layout-bagus)

Di ruang sempit perkuliahan, nyatanya bisa membuahkan karya yang terbukukan kawan. 

usmanroin.com-Buku –hasil karya tulis mahasiswa produk perkuliahan, lalu dibedah dalam forum publik, bagi penulis sungguh luar biasa. 

Kegiatan bedah buku yang terselenggara “seakan” menciptakan atmosfer sisi kualitas isi. Dan itu, betul-betul terbukti kala penulis membaca salah satu karya cerita pendek (cerpen) berjudul "Takdir Indah namun Menyakitkan" kelas d, semester tujuh.

Membaca cerita yang disuguhkan sebanyak tujuh lembar di buku berjudul "Lintang Pena: Antologi Cerita Pendek Mahasiswa PAI 7-d Unugiri Bojonegoro", betul-betul mengaduk-aduk emosionalitas penulis. Hingga, air mata tak kuasa menetes.

"Subhanallah..!", betapa dalam alur cerita yang disampaikan hingga berakhir bahagia  atau happy ending.

Bagi penulis, ada sisi kebanggaan dari hadirnya buku antologi luaran mata kuliah jurnalistik semester ganjil –yang baru saja berlalu, di mana penulis sebagai pengampu.

Pertama, buku yang dibedah pada Kamis (06/02/25) tersebut, lahir dari pelatihan dengan menghadirkan praktisi yang expert di bidang penerbitan. Yaitu, mendatangkan penerbit Mitra Karya dari Soko, Tuban, sebagai dosen tamu. 

Jika demikian, tentu secara teknis kepenulisan, mahasiswa telah dibekali cara menulis perihal cerpen dan puisi secara baik dan benar.

Sebagai informasi tambahan, bila empat buku antologi yang dilahirkan dari kelas a, b, c, dan d semester tujuh (kini delapan, red), tidak lahir sekadar menghimpun karya. Lebih dari itu, ia betul-betul melatih setiap mahasiswa secara teknis bagaimana step teknis menulis karya sastra cerpen dan puisi.

Tentu, panjenengan sudah mafhum, karya tulis yang sekadar dihimpun, lalu diserahkan kepada penerbit secara bongkoan, “seakan” terdapat sisi proses langkah yang hilang. Seperti, langkah revisi secara mandiri (self-revision) oleh penulis, dalam hal ini mahasiswa.

Tiga karya antologi cerpen berjudul “Rantai Tinta Mahasiswa” 7a; “Perjalanan Huruf dan Kisah-kisah Kita” 7c; "Lintang Pena" 7d, serta satu antologi puisi berjudul “Pena dan Aksara Kita” 7b, lahir dari pembelajaran yang sistematis. 

Plagiasi Dicek

Mulai dari cara menulis cerpen-puisi, praktik menulis, editing penerbit, self-revision, layout, proofreader dan pencetakan buku. Bahkan, dari sisi keaslian karya, penulis –sebagai pengampu, dengan penerbit buku juga melakukan cek plagiasi. 

Ketika ditemukan indikasi plagiasi, naskah akan serta-merta dikembalikan kepada mahasiswa. Selanjutnya, mahasiswa penulis minta untuk membuat ulang made in sendiri.

Kedua, setelah karya antologi –cerpen-puisi, menjadi buku, ia tidak lantas didiamkan. Tetapi dilakukan bedah buku. 

Bedah buku sendiri dalam KBBI, diartikan sebagai diskusi yang membicarakan perihal isi buku. Jika demikian, substansi dari kegiatan bedah buku adalah memperkenalkan kepada publik perihal isi buku yang dilahirkan kepada calon pembaca secara singkat.

Oleh karena ini adalah hajat bersama, dalam hal ini kelas 7a, b, c dan d, inisiatif kepanitiaannya juga berasal dari perwakilan masing-masing kelas. 

Di mana masing-masing kelas, mendelegasikan tiga mahasiswa yang dipilih dengan ketua kelas sebagai penanggung jawab penuh.

Perlu diketahui, mengapa bedah buku tersebut diselenggarakan dengan peserta dari empat kelas? 

Penulis jawab, sebagai ajang branding 31 penulis di kelas 7a, 28 penulis di kelas 7b, 29 penulis di kelas 7c, serta 27 penulis di kelas 7d.

Artinya penulis muda sebanyak 115 mahasiswa, berhasil melahirkan karya tulis terbaiknya berwujud antologi cerpen-puisi. 

Bagi penulis, mahasiswa yang membuat karya, kemudian terbukukan, adalah satu keberanian untuk mengakui bila ternyata karya mereka luar biasa. 

Perlu diketahui, sikap untuk mengakui “bila karya diri itu berharga” masihlah langka. Kita lebih percaya diri (pede) dengan melebih-lebihkan karya orang lain dengan kalimat-kalimat bombastis. Luar biasa, inspiratif, menyihir dan sebagainya, dengan mengecilkan karya yang dihasilkan sendiri. 

Bila perspektif seperti ini terus menjangkit diri, tentu penulis “yang sudah populer” akan semakin terkenal, dan itu-itu saja. 

Sementara, kita tidak pernah mau berusaha menghargai hasil karya sendiri yang dihasilkan. Padahal setelah penulis baca, kedalamannya tidak kalah dengan penulis yang sudah tenar.

Ketiga, penulis sedikit mengutip testimoni editor in chief jurnaba.co, Ahmad Wahyu Rizkiawan, yang hadir sebagai pemantik pada bedah buku di Auditorium Hasyim Asy’ari Gedung Rektorat Unugiri Lt. 3, pada cover belakang empat buku disampaikan, bila antologi cerpen dan puisi para mahasiswa PAI kaya sisi kemenarikan.

Mengapa? 

Menurut Wahyu –penulis buku "Tarikh Padangan" (2024), bila mahasiswa keagamaan ternyata masih mau menyempatkan diri untuk berimajinasi. 

Bagi Wahyu, kemampuan berimajinasi ini adalah satu-satunya keistimewaan terakhir yang dimiliki manusia di tengah himpitan artificial intelligence (AI).

Jika demikian, sungguh beruntung bilamana kita –mahasiswa, mau dan sadar untuk selalu menggunakan imajinasinya guna mengemas kepekaan-kepekaan yang terjadi dalam bingkai sosial kehidupan berwujud karya buku. 

Dengan demikian, masa depan pemimpin mendatang baik-baik saja. Iya, baik-baik saja. 

Sebab, kehadirannya senantiasa membuka kepekaan hati, dan menggunakan imajinasinya dengan baik untuk melahirkan rantai-rantai tulisan sebagai kontemplasi diri melukiskan ihwal kehidupan yang terjadi. 

Kurang lebih itu bisa penulis syarah dari apa yang disampaikan mas Wahyu.

Bahkan salah satu pemantik bedah buku yang lain bernama Nanang Fahrudin, juga tidak lupa memprovokasi kepada mahasiswi. 

Dengan gamblang penulis buku "Membaca untuk Bojonegoro" (2019), memunculkan ide “nakal” kepada para mahasiswi yang hadir, kelak bila akan menikah sepertinya perlu meminta mahar “buku” yang memenuhi satu almari. 

Menurut beliau, hal itu agar literasi dari keluarga bisa tumbuh. Dan keluarga muda yang menapaki rumah tangga, bisa pula merencanakan untuk melahirkan karya buku. Entah itu cerpen dan puisi, sebagai ungkapan kasih sayang kepada pasangan yang dipilihnya.

Bentuknya bisa dengan berbalas karya –cerpen-puisi, kepada pasangan yang dicintai hingga melahirkan karya buku secara kontinu. Indah sekali! 

Jika demikian, mungkin panjenengan yang membaca tulisan ini perlu mencoba ide "nakal" tur inspiratif dari mas Nanang. Yaitu, menjadikan satu almari buku sebagai “mahar” pernikahan. Ha..ha..ha..!


* Usman Roin, penulis adalah Dosen Prodi PAI Fakultas Tarbiyah Unugiri.

: UR
: UR Pria desa yang coba senang membaca, menulis, dan blogging sebagai kontemplasi diri.

Posting Komentar untuk "Antologi Cerpen-Puisi: Menilik Lahirnya Buku dari Ruang Perkuliahan"