Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Alumni dan Pesan Menulis

 

FOTO-Usman Roin (dok.pribadi)

usmanroin.com – Warung pergerakan -pak Tolib- Sabtu (8/6/24) sore, menjadi saksi pertemuan penulis dengan alumni Prodi PAI Unugiri.

Ada sahabat -sebutan aktivis PMII- Andi, Ilham, dan Bukhori.

Obrolan kami menceritakan perihal aktifitas mereka yang kini telah menjadi pendidik baik di SD, serta SD Islam. Sebagai dosen yang dulu pernah bertatap muka dengan mereka, senang dan bangga. 

Kaca mata tracer study, mereka telah mengabdi menjadi guru pada satuan pendidikan negeri maupun swasta. Meski begitu, penulis tetap menyematkan pesan khusus kepada mereka yang kini praktis menjadi new comer pendidik.

Belajar, Menulis

Pertama, tetap belajar. Pesan belajar, sinau, membaca -buku, jurnal, serta artikel sebagaimana webblog ini- tetap kudu dilakoni. Itu pinta penulis sambil menyeruput kopi hangat buatan pak Tolib. 

Pasca menyandang gelar Sarjana (S1), aktifitas berat yang dilakukan untuk diri sendiri adalah istikamah belajar. 

Dari belajar, kata penulis, panjenengan semua bisa melakukan upgrade diri keilmuan. 

Hal ini sebagaimana penegasan pakar pendidikan Islam, Al-Abrasi -dalam Ahmad Tafsir (2012:127)- bila tugas guru salah satunya adalah selalu berusaha meningkatkan keahliannya, baik dalam bidang yang diajarkannya, maupun dalam cara mengajarkannya.

Memang, belajar mandiri itu berat. Terlebih untuk diri sendiri. Karena musuh bebuyutan manusia -bernama setan- tidak ingin kita berada dalam rel keimanan, kebenaran, dengan menetapi pada jalan Agama. 

Bisikan setan -malas dan saudara-saudaranya- terus dikampanyekan sehingga manusia puas, meninggalkan aktivitas belajar pasca purna kuliah.

Oleh karenya pepatah Arab mengatakan, “Laukaana nur al ‘ilmi yudraku bi al muna maa kaana yabqaa fi al bariyyati jaahilun”. Artinya, seandainya cahaya ilmu itu bisa didapatkan dengan berangan-angan, maka tidak ada orang bodoh di dunia ini.

Kedua, belajar menulis. Perihal kecakapan menulis, juga penulis tekankan kepada mereka. 

Walau mereka tidak menyerutup kopi sebagaimana penulis, melainkan jenis minuman lain, tidak masalah. Kampanye menulis tetap penulis sematkan kepada mereka.

Mengapa penulis tekankan kepada mereka?

Penulis mengasih gambaran bila menjadi pendidik itu harus memiliki ciri lebih. Pembeda dari yang lain. Salah satunya yang belum dimiliki adalah menjadi guru, dan menjadi penulis. 

Jika profesi menjadi guru telah didapatkan, kini saatnya melengkapinya dengan profesi menulis. 

Deni Damayanti (2017:12), secara filosofis menjelaskan, bila kerja menulis itu sebuah kerja mulia. 

Pekerjaan membagi pengetahuan kepada orang lain tidak banyak dimiliki oleh orang lain. Selain pendidik -dosen, guru, ustaz-ustazah- dan penceramah, penulis adalah pekerjaan yang turut serta mencerdaskan bangsa.

Bila kemudian terdapat seorang guru, lalu kemudian terampil juga menulis, ia adalah sosok yang paling mulia dari ketiganya karena mencerdaskan kehidupan bangsa secara menyeluruh. 

Bahkan karena keahliannya tersebut, Allah Swt akan memberinya keutamaan-keutamaan yang tidak ia duga. 

Hal sebagaimana kalam Arab, “Man ahabba al ‘ilma ahatat bihi fadaailuhu”. Artinya, barang siapa mencintai ilmu, pasti dikelilingi oleh keutamaan-keutamaan. 

Profesi menulis bila dipelajari, sama dengan menambah keterampilan personal diri. Jadi, keberadaannya menunjukkan tidak sama dengan pendidik -guru PAI- pada umumnya. 

Melainkan, memiliki daya tawar lebih yang unggul untuk diproyeksikan ke depan bisa memajukan sekolah atau madrasah yang ditempati. 

Tetapi, bila kemudian mereka berbekal “amunisi” seadanya, sedangkah kompetitornya memiliki skill lebih, lambat laun mereka akan tergerus -selanjutnya tersingkir- dari dunia pendidikan. 

Itu ilustrasi sederhana yang penulis gambarkan kepada mereka, sambil menyerutup lagi kopi yang penulis tuangkan di lepek.

Sekadar informasi, perihal alasan sarjana Agama -dalam hal ini guru PAI- mengapa perlu nyinauni keterampilan menulis untuk dikuasai, baca ulasan komprehensifnya agar marem dengan klik judul “Alasan Sarjana Agama Perlu Menulis”.

Akhirnya, manjadi guru sekaligus penulis, sama dengan mengabadikan diri, sebagaimana pepatah Arab “Laisa lisultaani al ‘ilmi zawaalun”.  Artinya, penguasa ilmu tidak akan sirna. 

Sastrawan kondang Pramoedya Ananta Toer, menegaskan pula, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.

Jika demikian adanya, siapa pun panjenengan yang berprofesi menjadi guru Agama, sudah saatnya pula juga berprofesi sebagai penulis. 


* Usman Roin, penulis adalah Dosen Prodi PAI, Fakultas Tarbiyah, Unugiri.

: UR
: UR Pria desa yang coba senang membaca, menulis, dan blogging sebagai kontemplasi diri.

2 komentar untuk "Alumni dan Pesan Menulis"

  1. Luar biasa panjenengan bapak, selalu semangat memberikan pencerahan generasi bangsa. Barokallah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama²., tetap semangat belajar dan menulis., 🙏

      Hapus