Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keteguhan Menulis, Inilah Cerita yang Bisa Diambil Pelajaran

FOTO-Nick Morrison

usmanroin.com-Menulis itu tantangan. Ia akan menjadi mudah manakala terbiasa. Sebaliknya akan terasa sulit, bila kurang hingga tidak terbiasa. 

Karenanya, semampu penulis, menulis akan penulis biasakan. Dari catatan harian, kemudian artikel, lalu menulis berita, profil (features), hingga karya ilmiah skripsi, tesis dan insya Allah disertasi. Amin.

Wah keren ternyata ya. Penulis sudah mengalami perubahan-perubahan (evolusi) luar biasa dalam menulis. Dulu penulis hanya menulis catatan harian. Tidak diterbitkan. Tapi untuk konsumsi pribadi. 

Catatan harian yang penulis buat -hingga kini masih- menceritakan keseharian. Ya bekerja. Ya tidak setuju terhadap ide yang dilontarkan seseorang. Hingga kadang juga uneg-uneg dengan istri. 

Dari catatan harian yang receh tersebutlah penulis belajar menulis artikel. Dulu, waktu awal menulis artikel penulis kesulitan banget. 

Dasar minim semangat membaca, sehingga kala menulis jadi sulit. Malas ya iya. Bahkan kadang ide yang ditulis macet di tengah jalan.

Bila sudah bagini, dan belum sampai tulisan selesai, esoknya pikiran yang sedang dalam proses menulis sudah diambil orang lain. Sudah terpampang dahulu oleh penulis senior lain. 

Penuangan ide yang penulis lakukan kalah cepat dengan penulis yang sudah jadi penulis. Hal itu penulis maklumi karena masih pemula. Amatir. Jadi, kadang karena belum terbiasa, menulis loading-nya lama tidak selesai-selesai.  

Tetapi yang perlu penulis sampaikan, perjuangan agar bisa menulis tidak kemudian penulis hentikan. Penulis juga tidak begitu saja mengibarkan bendera sebagai tanda menyerah. Tetapi, terus latih dan berlatih menulis. 

Sebagai ikhtiar lahiriah, penulis banyak nongkrong di perpustakaan hingga toko buku. 

Apalagi saat itu, penulis masih ingat betul saat kirim tulisan masih manual. Penulis antar ketikan yang sudah diprint, kemudian di-wadahi amplop ke kantor media. 

Amplop coklat yang saya bawa kemudian diterima satpam. Baru kemudian diteruskan ke redaksi untuk ditimang-timang pantas apa tidak diterbitkan.

Maklum, zaman 2007 internet belum familier. Pasca internet sudah familier, usaha menulis tetap semangat penulis lakukan. Tidak lagi penulis kirimkan secara manual. Tetapi cukup kirim via email.

Setelah mencoba berkali-kali, akhirnya bisa nongol dan nongol di media cetak yang kala itu penulis masih di Kota Semarang. Tapi perlu diketahui, tulisan yang penulis buat, jauh lebih banyak yang tertolak daripada yang keterima. 

Tetapi sekali lagi, penulis tetap ber-husnudzon kepada para redaktur. Bagi penulis beliau-beliau orang hebat dan selektif. 

Ia mengantarkan penulis dari bayi calon penulis, kemudian penulis pemula, lalu menjadi orang yang suka nulis (penulis). 

Beliau-beliau juga memberi pelajaran berhaga kepada penulis. Bila ingin menjadi penulis, keteguhan tinggi harus dimiliki.

Keteguhan yang penulis maksud, jangan sampai kala kirim tulisan dan tidak dimuat oleh sebuah media, lalu berhenti tidak mengirim lagi. Justru, saat itulah kita baru diuji oleh redaktur. 

Seberapa teguh menghasilkan karya tulis dan seberapa kuat semangatnya mengirim tulisan itu yang ingin dilihat para redaktur media. 

Itulah garis besar husnudzon penulis kepada awak redaktur media cetak maupun online yang penulis kenal.

Sinau Nulis Berita

Setelah menulis artikel bisa, kemudian evolusi penulis lakukan kepada menulis berita (news). Terhadap hal ini, penulis belajar kepada teman yang kebetulan menjadi jurnalis beneran. 

Rumus yang ia berikan kepada penulis sangat mudah. “Kang,” begitulah kalau teman memanggil. Ia bilang,“Tiru saja berita yang saya buat,” ucapnya. 

Karena diminta meniru, akhirnya penulis meniru berita dia yang telah disunting oleh redaktur.

Berbekal meniru -sistematika- penulisan berita itulah, penulis jadi mengerti dan bisa menulis berita. 

Bahkan sebagai pelengkap pengetahuan apa itu berita, penulis rela mengikuti pelatihan jurnalistik yang kala itu diselenggarakan oleh salah satu media ternama di Jawa Tengah.

Jika demikian, pengalaman teoritis plus praktis penulis miliki dalam menulis berita. Sehingga, ketika saya bekerja disalah satu sekolah Islam di Semarang, penulis terbiasa mengirimkan rilis berita kepada media-media yang sudah mapan.

Alhasil saat pagi tiba, istri selalu hafal dengan kebiasaan pagi penulis pergi ke lapak koran. Apa yang penulis lakukan? Ngecek rilis berita yang penulis kirimkan ke media apakah tayang atau tidak?

Jika sudah tayang, penulis kemudian beli koran tersebut. Tidak lupa kemudian sekolah penulis belikan sebagai arsip portofolio kegiatan yang telah tayang di media. 

Pengalaman-pengalaman menjadi kontributor, atau orang yang berkontribusi mengirimkan kegiatan di sekolah kepada media, itulah menjadikan penulis memiliki banyak relasi dengan para redaktur, dan para jurnalis. 

Tidak sekadar cetak, online, bahkan juga televisi dan radio pula. 

Sinau Pula Nulis Feature

Dari berita -yang sudah bisa dikuasai kepenulisannya- penulis lebarkan kepada cara menulis feature. Profile atau kisah seseorang, kehidupan sehari-hari, cerita tentang suatu cara, serta cerita dibalik sebuah berita (Brooks, et al dalam Rahmat Patuguran dan Saroni Asikin, 2020:100). 

Penulis sinau lewat karya-karya yang sudah dibuat oleh jurnalis. Apalagi, sekolah tempat bekerja langganan koran. Maka hal utama yang penulis lakukan adalah memabaca koran. 

Jadi, kala penulis bekerja di sekolah Islam di Semarang, selain berita kegiatan juga terdapat siswa hingga guru yang berprestasi. 

Karenanya, menulis profil para juara atau yang menginspirasi juga bisa penulis kuasai. Alhamdulillah.

Evolusi demi evolusi menulis tersebut kini penulis syukuri. Tentu, jika tidak karena hidayah Allah, kini penulis tidak akan dikenal. Hidayah-Nya agar penulis menekuni dunia menulis itulah yang menjadikan orang tahu siapa penulis.

Penulis sangat setuju pendapat Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D., (2015:31) Bila perintah membaca dalam Islam yang disebut “IQRA” perlu ditujukan pula kepada ayat-ayat Allah yang terdapat dalam ciptaannya berupa alam semesta. 

Sehingga dari kata “IQRA”, bisa diklasifikasi makna secara terpisah. “Alif” dimaknai “ ’Alamin” yang berarti alam semesta. “Qaf” dimaknai “Qalam” sebagai gejala alam. Kemudian “Ra” dimaknai “Ra’a” sebagai membaca dengan mata.

Pada kontek ini “IQRA” diartikan bila alam semesta  merupakan “Al-Qalam” atau tanda-tanda yang dianugerahkan oleh Allah Swt untuk kemudian dipahami secara visual -dibaca dengan mata- oleh kita sebagai manusia yang selanjutnya dijadikan dasar sebuah ilmu pengetahuan.

Karenanya, Allah menyimpan maksud menyandingkan kata “IQRA” (baca) dengan kata “Allama bi al-Qalam” mengajari kepada kita dengan “Qalam” yang artinya menulis. Jadi, menulis yuk.


* Usman Roin, Penulis adalah Dosen Prodi PAI, Fakultas Tarbiyah, UNUGIRI.

: UR
: UR Pria desa yang coba senang membaca, menulis, dan blogging sebagai kontemplasi diri.

Posting Komentar untuk "Keteguhan Menulis, Inilah Cerita yang Bisa Diambil Pelajaran"