Kampanye Membaca yang Luput dari Perhatian
PHOTO-Ben White on Unsplash |
usmanroin.com-Alhamdulillah, semangat membaca penulis tumbuh kembali.
Hal itu terwujud, karena penulis coba paksa diri ini untuk disiplin membaca. Di mana pun dan kapan pun. Selagi ada waktu senggang, buka buku, baca, dan baca.
Perilaku melakoni proses membaca memang berat. Penulis dan mungkin pembaca budiman merasakan, kala aktivitas membaca dilakukan, kita seperti bergelut dan fokus mencari pemahaman teks yang dibaca.
Posisi fokus memahami teks bacaan, yang kemudian melahirkan ragam pemahaman dari sedikit, sedang, dan paham sekali itulah yang kadang menjadikan aktivitas baca tidak jinak dilakukan.
Padahal semakin membaca tidak dikulinakan, dua paragraf saja dibaca, selanjutnya kantuk datang dan tidur yang menggantikan.
Belum lagi kala membaca menemukan teks bacaan yang sulit dicerna. Entah karena kosa kata yang asing, terlalu ilmiah.
Atau, penulis buku sendiri yang kaku, berputar-putar, tidak sistematis mengulas apa yang ditulis, sehingga menjadikan buku yang ada di tangan segera digeletakkan begitu saja.
Sebagai pendorong membaca, penulis berpijak pada rumus “paksa” ke perpustakaan. Karena bagi penulis, perpustakaan kampus -dengan segala kelebihan dan kekurangan- memiliki aura positif munculnya daya baca.
Coba pembaca angan-angan saja tanpa datang ke perpustakaan dahulu. Melihat deretan buku yang berjejer di rak, yang muncul dalam benak kemudian adalah sudah berapa buku yang dibaca?
Jika pertanyaan di atas kemudian dituliskan jawabannya, mungkin ada yang sudah khatam satu, dua, dan tiga buku.
Atau, sedang otewe dua, tiga, lima, hingga sepuluh lembar satu buku membacanya. Itu pun membaca “terpaksa” dilakukan bebarengan dengan membuat makalah.
Bila itu jawaban yang muncul, coba kita korelasikan dengan jumlah koleksi 5000 buku di perpustakaan sebagai misal.
Artinya, masih ada ribuan buku yang belum dibaca dan menjadi Pekerjaan Rumah (PR) untuk dibaca.
Sebagai upaya memantik semangat membaca berikutnya, penulis biasanya mencari buku yang provokatif kala di perpustakaan.
Artinya, penulis mencari buku-buku yang “membangkitkan” gairah semangat membaca melalui indikator, kala membaca teks yang deskripsikan oleh penulis, buku itu seolah-oleh memunculkan daya magnet terus, terus, dan terus.
Kemudian, tidak terasa beban membaca teks kala aktivitas baca sedang dilakukan.
Kategori buku-buku seperti itu sepengetahuan penulis, biasanya lugas dalam penyajian. Teksnya enak dibaca. Mengalir. Renyah isinya. Kritis dan solutif dalam mengupas persoalan yang sedang dibahas.
Karena terkadang, banyak buku yang kritis mengupas topik persoalan, hanya saja tidak dibarengi dengan paparan tawaran solusi. Bila kita menemukan buku kategori tersebut, “solusi” seakan-akan mahal untuk disampaikan.
Selain buku yang mengalir, enak dibaca, memiliki sudut pandang kritis plus solutif, hal berikutnya yang penulis lakukan adalah pergi ke toko buku agar daya baca meningkat.
Hanya saja, di Kabupaten Bojonegoro sendiri, toko buku berkategori besar baru ada dua.
Tentu, jika iklim literasi di Kota Ledre ini mau dihidupkan, penambahan toko buku perlu diperbanyak. Tujuannya, agar semakin banyak kantong-kantong terdekat orang ingin membeli buku.
Setiap bulannya, penulis biasanya menyisihkan membeli buku untuk menambah gairah baca. Buku yang dibeli “jadi PR” diri untuk dituntaskan membaca.
Sehingga tidak muncul kesan, bila PR membaca hanya ditujukan kepada pelajar, mahasiswa, dosen, pegiat literasi saja. Bila membaca ingin membudaya, ia perlu menjadi PR semua orang tanpa terkecuali.
Lalu dari mana hal itu dilakukan?
Pertama, dari keluarga. PR membaca kudu dimulai dari keluarga. Bapak, ibu, kakak, saudara harus memiliki PR membaca. Entah itu selembar, tiga lembar, bahkan lima lembar dalam sehari.
Intinya itu adalah, kebiasaan membaca selembar, tiga, dan lima lembar dalam sehari itu ditampakkan. Meminjam terminologi politik “dikampanyekan” anggota keluarga. Sehingga, anak akan mencocokkan kalimat perintah dengan kenyataan anggota keluarga.
Celakanya, masih banyak orang tua lalai. Dikira dengan kalimat perintah “membaca” anak serta merta gercep membaca.
Padahal, dalam hati anak, ada tanda tanya besar. Bila diungkapkan secara verbal “Bapak dan Ibu saja tidak membaca, mengapa menyuruh saya?”
Jika demikian, jangan karena sudah menjadi orang tua, kemudian contoh membaca diabaikan. Penulis masih ingat betul bapak penulis yang berprofesi sebagai petani, menyempatkan deres buku khutbah Jumat sebelum naik ke mimbar.
Perilaku deres (membaca) naskah khutbah yang dilakukan seminggu sekali, ternyata memberi manfaat luar biasa kepada penulis untuk cinta membaca.
Kedua, dunia pendidikan. Pendidikan kalau boleh penulis ibaratkan adalah jantung membaca. Mengapa? Karena iklim literasi -dalam hal ini membaca- bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk program kegiatan.
Bisa program membaca secara massal memperingati hari buku nasional (17/5) atau dunia (23/4), bedah buku, perlombaan membaca, bahkan berkunjung ke perpustakaan sekolah hingga ragam bentuk lainnya.
Pada tataran kampus, program membaca juga bisa dilakukan baik secara individu maupul massal. Secara individu, dosen, tenaga kependidikan, serta mahasiswa menjadi uswah membaca.
Contoh kecil, ketika ada pergantian mata kuliah, dosen atau mahasiswa bisa membuka buku dan membacanya. Sehingga tidak ada lagi dosen dan mahasiswa menggerutu, oleh sebab jeda waktu pergantian digunakan untuk menambah pengetahuan melalui baca.
Secara massal, kampus bisa menyelenggarakan kewajiban membaca buku. Bisa dilaksanakan mingguan, atau bulanan.
Hal itu semata-mata dilakukan untuk mengkampanyekan dari ruang terdekat bila membaca itu menjadi aktivitas yang harus dilakukan di mana pun dan kapan pun. Hanya saja, sebagian lembaga pendidikan -sekolah dan kampus- masih minim perhatian.
Ketiga, di masyarakat. Masyarakat yang penulis maksud lebih tepatnya disebut ruang publik. Sarana membaca perlu disediakan. Entah melalui mading yang dibangun di alun-alun, stadion, tempat wisata, perkantoran, ataupun masjid.
Tujuannya tidak lain agar media membaca mudah ditemukan. Dan membaca sekali lagi menjadi perilaku siapa saja, membudaya, serta mudah ditemui di mana pun dan kapan pun.
Alhasil, tidak ada lagi menghabiskan waktu secara sia-sia dengan hanya melihat status whatsApp, game. Tetapi, dialihkan sementara dengan mengantongi gadget di saku, untuk kemudian menuju ruang baca dan melakukan aktivitas baca.
Jika media membaca secara publik tidak ditemukan pada tempat strategis, tentu sampai kapan pun aktivitas membaca tidak populer dan miskin jurkam. Ia termarginalkan.
Apalagi, para politisi dan capres-cawapres yang ada sampai saat ini, juga belum respon mengarusutamakan peningkatan daya membaca masyarakat di ruang publik.
Padahal, dalam nalar sederhana penulis, masyarakat yang bagus daya bacanya akan ikut berperan serta menyukseskan akselerasi pembangunan yang ada.
Ia akan menjadi katalisator makna hakiki pembangunan yang dilakukan pemerintah. Ia akan menjadi pemberi solusi butten up atas kritik yang dimunculkan.
Akhirnya, mari kampanye 3M. Membawa, membuka, dan membaca buku di mana pun dan kapan pun.
* Usman Roin, Penulis adalah Dosen Prodi PAI UNUGIRI.
** Tulisan ini telah tayang di blokBojonegoro.com dengan judul: PR Membaca yang Luput Dikampanyekan.
Posting Komentar untuk "Kampanye Membaca yang Luput dari Perhatian"