Kebersihan yang Minus Pengamalan
PHOTO-Rinaldi Akbar on Unsplash |
usmanroin.com-Kebersihan yang dalam KBBI berarti perihal (keadaan) bersih, ternyata masih menjadi "PR besar" bersama. Mengapa? Pertama, itu karena perilaku bersih belum sepenuhnya terwujud di sekeliling kita.
Coba kita amati, botol minuman, tisu, kotak dan bungkus snack ketika habis pakai ditinggal gelanggang begitu saja. Bukannya dibuang di tempat sampah yang tersedia didekatnya, tetapi dibiarkan begitu saja tanpa rasa bersalah di manapun tempatnya.
Kedua, kebersihan masih menjadi "PR besar", karena kebersihan tidak berhenti dari skop terkecil rumah tangga saja. Institusi perkantoran, pendidikan, serta lingkungan sekitar juga masih luput dan minus perhatian.
Bisa dibayangkan, rumah tangga yang kemproh, tentu orang yang bertamu akan enggan. Penyebabnya, karena orang yang berada di lingkungan keluarga tersebut abai bin lalai tidak memedulikan kebersihan lingkungan.
Hal itu, bisa terjadi oleh kesibukan karena gila bekerja, hingga muncul saling tuding, ini tugas siapa? Ini tugas siapa? Atau, memang diri kita yang miskin sikap hidup bersih!
Begitu pula di perkantoran. Kebersihan kudu menjadi bagian dari jiwa orang yang bekerja di dalamnya. Meja kerja yang bersih dari debu dan sampah, lembar kertas serta kursi yang tertata rapi kembali ketika akan pulang.
Terhadap hal tersebut, penulis memiliki pengalaman empiris dengan beliau Prof. Dr. H. M. Ali Mansyur, SH., Sp.N., M.Hum., yang merupakan Guru Besar Ilmu Hukum salah satu kampus swasta di Semarang.
Saat penulis di Semarang dan bekerja di Yayasan beliau, Prof. Ali memberi contoh konkrit. Ketika toilet di dalam kantor agak kotor, beliau cincingkan lengan baju dan celana. Lalu, beliau kosek sendiri kloset dan bak air mandi hingga bersih.
Mengetahui beliau akan membersihkan toilet, penulis respek sembari mengucap biarlah penulis saja yang ngosek toiletnya. Tetapi apa jawaban Prof. Ali, "Biar saya saja mas, sekalian olahraga," ucap beliau dengan penuh senyum semangat.
Hal yang lain, penulis juga menemukan pengalaman berharga bersama Prof. Ali. Karena meja penulis berdekatan dengan beliau, perilaku istikamah terkait kebersihan yang dilakukan tepatnya ketika akan pulang adalah Prof. Ali selalu merapikan meja kerjanya sendiri.
Tempat kotak bolpoin yang miring diluruskan. Sampah tisu dan kertas dibersihkan dan dibuang di tempat sampah. Serta kursi kerja dimasukkan ke dalam meja. Inspirasi perilaku beliau sekelas "Profesor" itulah yang membuat penulis mengidolakan beliau dalam hal kebersihan.
Pertanyaannya, sudahkah yang di kantor dan memiliki meja kerja, kursi, bahkan fasilitas kerja mencukupi dijaga dan dirawat kebersihannya?
Kampus
Di kampus, kebersihan juga harus mendapat porsi prioritas. Bagaimana caranya? Petugas kebersihan yang dimiliki ya membersihkan sebagaimana tugasnya.
Sementara, pimpinan, dosen, tendik, serta mahasiswa, jangan hanya berpangku tangan menjadi sumber lahirnya budaya membuang sampah sembarang.
Tetapi, juga ikut merawat kebersihan yang ada dengan membuang sampah pada tempat sampah yang telah disediakan.
Hanya saja, realitas sekitar kadang berbanding terbalik. Tempat sampah "kosong dari sampah", sementara di luar tempat sampah, berserakan sampah mulai dari makanan, minuman yang telah habis dinikmati.
Sebagai bagian dari akademisi yang kritis, pintar, dan berwawasan luas, perilaku remeh sekadar membuang sampah semestinya bukan perilaku yang berat.
Tetapi sekali lagi, fakta membuktikan, membuang sampah pada tempatnya masih menjadi perilaku yang tidak ringan dilakukan. Hal itu, masih ditambah perilaku membuang sampah di tempat sampah yang miskin suri tauladan.
Perlu disadari, bila perilaku bersih ternyata turut membantu saudara kita yang kebetulan menjadi petugas kebersihan.
Apalagi, bila sudah gaji yang tidak seberapa, diminta totalitas mempertanggungjawabkan kebersihan semuanya, tentu yang ada hanya ngedumel saja yang keluar di bibir.
Sebagai warga dari skop kecil "rumah tangga", kemudian melebar "perkantoran", "kampus", serta aneka instansi lain, mestinya sadar dan punya naluri tinggi ikut memungut sampah terdekat kita.
Jangan malah semena-mena kepada petugas kebersihan dengan memasrahkan ihwal kebersihan kepada mereka. Kita perlu menjadi contoh (uswah) dalam hal menjaga kebersihan.
Mengutip Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam bukunya Arrasul al Mu'allim wa Asalibuhu fi at Ta'lim, (2022:81), bila metode mengajar Rasulullah Saw yang paling penting, utama, serta paling menonjol adalah menjadikan diri beliau teladan dengan mencontohkan akhlak mulia kepada sesama sahabat.
Artinya, jika Rasulullah menyuruh melakukan sesuatu, beliau orang yang pertama yang akan melakukannya. Sehingga, sahabat bisa mengikuti dan mengamalkannya sebagaimana apa yang terlihat secara langsung.
Jika demikian, kebersihan sangat bisa kita jaga dengan gotong royong sesuai tempat yang kita miliki. Sudah saatnya, tidak perlu malu menjumput sampah yang ada di sekitar kemudian dimasukkan di tempat sampah.
Islam dengan gamblang menjelaskan bila perintah kebersihan bukan sekadar slogan. Tetapi, diri kita menjadi teladan dengan mengamalkan kebersihan kapanpun dan di manapun. Baik di rumah, kantor, kampus dan tempat-tempat lainnya.
Semoga, secuil tulisan ini ada manfaatnya. Amin. (*)
* Usman Roin, Dosen Prodi PAI Fakultas Tarbiyah UNUGIRI.
Posting Komentar untuk "Kebersihan yang Minus Pengamalan"