Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Harta Halal, Penting Ternyata

PHOTO-by Masjid Pogung Raya on Unsplash

usmanroin.com, MEMBACA-bukunya Prof. Dr. H. Jalaluddin berjudul “Pendidikan Islam: Pendekatan Sistem dan Proses” (2016:267), menarik untuk dicermati. Utamanya, pada sub bab khusus bila kepala keluarga menjadi penanggung jawab utama termasuk dalam hal pemberian nafkah kepada istri dan anak-anaknya.

Pemberian nafkah kepada keluarga penting, seiring dengan rentetan kasus yang hingga kini viral. Penulis melihat para pejabat agak lupa, atau tersusupi nafsu dunia dengan vulgar memamerkan harta yang dimiliki. Terlebih, era kekinian, para pejabat yang rajin posting harta di medsos mudah ditemui.

Tentu, bila berkiblat kepada nilai-nilai Agama -Islam khususnya- hal itu tentu memancing rasa ketidakadilan. 

Bagaimana tidak? Coba kita bayangkan sejenak. Penulis saben pagi jalan-jalan untuk olah raga. Penulis mendapati, bagaimana perjuangan abang becak yang pagi buta sudah standby mencari penumpang. 

Asumsi sementara, tentu tidaklah banyak rupiah yang didapatkan sang abang becak kala bekerja. Tetapi, ada prinsip utama, yakni mencari uang yang halal demi keluarga.

Berkaca kasuistik tersebut, pengetahuan halal-haramnya harta penting banget diketahui. Agar semua usaha dan muamalah yang menghasilkan harta, menghindarkan kita kepada jenis penghasilan harta halal dan haram. 

Karenanya, para ulama membagi harta haram menjadi dua, yakni haram zatnya atau haram pada asal dan sifatnya serta cara mendapatkannya (haram li kasbihi).

Hasil penelitian Muhammad Wildan Fawaid (2016:69) menyebut bila harta haram ternyata memiliki implikasi sebagai berikut:

Pertama, memakan harta haram itu disamakan dengan perilaku khas masyarakat Yahudi kala itu, yang oleh Allah Swt dilukiskan pada surah al-Maidah:62. Penggambarannya, masyarakat Yahudi memiliki karakter mayoritas suka memakan harta haram seperi suap dan riba. 

Oleh karenanya, kerusakan perilaku tersebut janganlah kemudian menjangkit kepada kita untuk meniru perilaku yang sama.

Kedua, penyebab munculnya petaka. Sebagaimana peristiwa yang akhir-akhir ini terjadi, bila harta yang diperoleh dengan tanpa kewajaran (tanpa memedulikan halal-haram) tentu petakalah yang akan muncul. 

Bila kemudian penulis sedikit menyuplik hadis riwayat Al-Hakim “Apabila perzinahan dan riba merajalela di suatu negeri, sungguh mereka mengundang azab Allah Swt untuk menimpa mereka”. Kurang lebih seperti itu artinya.

Logika warasnya begini. Semakin produktifnya “suap” itu dilakukan, tentu semua tatanan itu akan bergeser dari nilai-nilai pakem yang telah ada. Alhasil, yang salah menjadi benar, oleh karena sogokan vulgar yang membudaya. 

Yang benar akan tidak benar lagi, karena tidak memiliki “rupiah” untuk memperkuat argumentasi kebenaran fakta yang dimiliki. Jadilah benar tetapi ditimpakan salah.

Jika kemudian perilaku hukum -sebagai satu contoh- membudaya melalui praktik di atas, tentu petaka sosial di masyarakat akanlah terjadi. 

Tebang pilih, rekayasa, iri, dengki, aji mumpung menjabat, dan bentuk perilaku manipulatif lainnya menjadi pemandangan menganga di depan mata. 

Peraturan tertulis mengatakan “demikian”, tetapi fakta di lapangan ternyata ternoda oleh perilaku “orang” atau “oknum” (untuk bahasa lebih halus) yang ending-nya tidak memedulikan cara memperoleh halal-haramnya harta.

Jika petaka-petaka kehidupan di sekitar kita terlahir oleh ogal-nya nafsu kita mencari harta yang minus pengetahuan halal-haram, tentu tatanan masyarakat menjadi rusak. Karena, “tatanan” hanya sekadar teks yang tidak sesuai dengan kenyataan lapangan.

Jika kemudian dihubungkan dengan tatanan keluarga, berarti suami atau istri yang bekerja perlu ngati-ngati bagaimana gaji diperoleh. Sudah halal atau justru haram mendapatkannya. Agar kemudian, tidak menampakkan karakter negatif bila kemudian dimakan. 

Tidak pula menjadikan diri malas untuk melakukan kebaikan dan seabreg perilaku positif lainnya. Malah yang mudah ringan bin ria menjalankan perilaku negatif yang happy ending-nya merugikan lingkungan sekitarnya.

Akhirnya,  bila tidak dimulai dari diri kita untuk memperhatikan halal-haram cara memperoleh harta, lalu berhadap kepada siap lagi? Mari direnungkan bersama-sama. (*)


* Usman Roin, Penulis adalah Dosen Prodi PAI Fakultas Tarbiyah UNUGIRI.

: UR
: UR Pria desa yang coba senang membaca, menulis, dan blogging sebagai kontemplasi diri.

Posting Komentar untuk "Harta Halal, Penting Ternyata"