Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jauhi Sifat Kikir

MAJID-Nurul Amin (dok/fin)
JUMAT-ini (13/11) penulis bukan sebagai jemaah salat Jumat. Melainkan sebagai khatib Jumat Masjid Nurul Amin, yang berlokasi di Jalan Cebolok 3 Rt. 03 Rw. 01, Kelurahan Sambirejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang.

Kebetulan, Jumat ini penulis tidak ada jadwal khatib. Dan ketika di chat pukul 20.53 Wib olah teman yang dulu sama-sama menjadi aktivis di Remaja Islam Masjid Agung Jawa Tengah (Risma-JT), alhamdulillah bisa. Usut punya usut, saya kebagian menggantikan jadwal beliau yang berhalangan oleh kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan.

Kesaggupan kemudian penulis sampaikan pada pukul 04.41 Wib via chat pula. Untuk mempersiapkan naskah khotbah, waktu sedikit sebelum ke kantor khatib gunakan untuk membuat draf khotbah sendiri. Bila dihitung lembaran, conten yang khatib sampaikan hanya tiga lembar saja dengan jumlah total enam halaman. 

Jika dibacakan, 10 menit khotbah pertama sudah selesai, ditambah dengan khotbah kedua plus doa 5 menit. Jadi, cukup 15 saja khotbah saya sampaikan, agar pesan sampai dan mudah dicerna oleh jemaah Jumat. 

Sebagai penulis khotbah, khatib mengawali untuk senantiasan bersyukur kepada Allah Swt atas nikmat sehat. Salah satunya dengan konsisten menjaga kesehatan dengan 3 M (mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak), diteruskan seruan membaca salawat dan tujuan khatib berdiri di mimbar. 

Khatib pun mengangkat tema “Menjauhi Sifat Kikir”. Sebab, kikir adalah sifat yang harus dihindari. Terlebih, Rasulullah sangat menginginkan kita sebagai umatnya memiliki perilaku sifat-sifat muliah agar menjadi pribadi yang mulia pula. 

Guna menguatkan hal di atas, khatib tidak lupa memberikan dasar hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang artinya, “Suatu paling buruk yang ada dalam diri seseorang adalah sifat kikir yang disertai keluh kesah dan sifat pengecut yang berlebihan”.

Hadis di atas, memberi penjelas kepada kita, bahwa kikir adalah sifat buruk yang harus dihindari. Kikir sendiri diartikan sebagai sikap mental yang enggan mengeluarkan sebagian harta yang diwajibkan untuk membayar zakat, menafkahi keluarga, atau berinfak dan sedekah untuk masjid, musala atau lainnya.

Dari hadis di atas juga, kikir dalam bahasa Arab diistilahkan dengan “Syuhha” yang artinya di samping enggan mengeluarkan sebagian hartanya, masih saja menginginkan agar harta milik orang lain jatuh kepadanya.

Memiliki sifat kikir tentu berbahaya sekali bagi kita yang ingin menjadi mulia. Terlebih, Allah Swt telah mengingatkan untuk menjauhi sifat kikir di surah al-Hasyr, ayat 9 yang artinya: “..Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang-orang yang beruntung”.

Khatib juga tidak lupa memaparkan bahaya sifat kikir dengan menukil Syekh Nawawi al-Bantani, di dalam kitab Nashaihu al-‘Ibad (63) sebagai bagian dari karakter hewan sebagaimana terjemah: “Kikir itu menghapus karakter kemanusiaan dan meneguhkan karakter kebinatangan”.

Adapun di akhir khotbah, khatib menjelaskan perilaku kikir, yakni ajakan kepada jemaah agar jangan sampai kita menjadi orang kikir dan senantiasa memperhitungkan bahwa harta yang keluar tidak boleh keluar cuma-cuma/ada imbal baliknya. 

Jangan pula berpikir, bahwa pengeluaran materi harus sebanding dengan man-faat yang didapatkan. Justru predikat kita sebagai manusia, yang memiliki hati dan akal digunakan untuk berbagi kepada sesama, dan itu yang membedakan kita dengan hewan. 

Sebagai penutup, khatib menutup dengan sebuah pertanyaan kepada jemaah. Jika sifat “kikir” kita bawa sampai mati, lalu apakah “kedermawanan” kita tampak manakala kita dihisab oleh Allah Swt kelak?

Pesan Khatib; di Masjid Nurul Amin,  Jalan Cebolok 3 Rt. 03 Rw. 01, Kelurahan Sambirejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang.

Penulis : Usman Roin

 

: UR
: UR dosen bloger

Posting Komentar untuk "Jauhi Sifat Kikir"