Warning: Tetangga yang Ahli Rumpi
BAGAIMANA-kalau punya tetangga pekerjaannya merumpi hingga berjam-jam. Tentu yang jadi tetangga menjadi risi. Mau apa-apa canggung karena rumpian yang tidak selesai-selesai. Bisa dibayangkan, bila “rumpi” itu kemudian menjadi jadwal harian. Tentu akan menjadi fenomena baru pekerjaan #dirumahaja.
Yang lebih miris, anak-anaknya akan menjadi korban dengan tidak terawasi secara optimal kebutuhannya. Mulai dari belum sempat dimandikan, dikasih makan, bahkan dirinya sendiri juga masih rembes, namun sudah asyik kelayapan ke rumah tetangga. Yang lebih memilukan, pekerjaan keluarga tidak kelar-kelar semuanya. Hingga ‘penulis’ yang menjadi tetangganya, memandang hal itu hanya bisa ngelus dada.
Pertanyaannya, lalu di mana suami-suami mereka, kok istri dibiarkan nonggo (bahasa Jawa) namun tidak di cegah? Padahal, lama-lama bisa dipastikan, jika istri yang seperti itu diingatkan, yang terjadi akan marah. Padahal, sudah menjadi kewajiban suami untuk mengingatkan, bila yang dilakukan sang istri itu tidak patut.
Memang sih, nonggo atau bertamu ke tetangga untuk mengobrolkan sesuatu dibolehkan. Tentunya dalam batas kewajaran. Jika kemudian sudah melampaui batas, tentu tidak baik. Bahkan bisa saja memunculkan pembahasan baru bernama ghibah.
Terlebih, di bulan suci Ramadan ini, kita diperintah untuk memperbayak amal kebaikan. Bila masih sama dengan sebelum Ramadan tiba, hingga kemudian berujung ghibah, tentu sangat rugi sekali sebagaimana penggambaran Allah, surat Alhujurat:12. Siapa yang menggunjing, diumpamakan seperti memakan daging saudaranya yang sudah mati.
Apalagi, jika kemudian disertai dengan hasad (rasa benci terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada orang lain). Penggambaran Nabi, bagai memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.
Lalu, apakah amal ibadah yang sudah susah payah dan capek-capek dikerjakan, ternyata langsung hangus, bagitu muncul sifat hasad dalam hati? Jadi, hindarilah apa saja hal yang berpotensi mengarah pada hal tersebut!
Catatan: Usman Roin
Semarang, 4 Ramadan 1441 H
Yang lebih miris, anak-anaknya akan menjadi korban dengan tidak terawasi secara optimal kebutuhannya. Mulai dari belum sempat dimandikan, dikasih makan, bahkan dirinya sendiri juga masih rembes, namun sudah asyik kelayapan ke rumah tetangga. Yang lebih memilukan, pekerjaan keluarga tidak kelar-kelar semuanya. Hingga ‘penulis’ yang menjadi tetangganya, memandang hal itu hanya bisa ngelus dada.
Pertanyaannya, lalu di mana suami-suami mereka, kok istri dibiarkan nonggo (bahasa Jawa) namun tidak di cegah? Padahal, lama-lama bisa dipastikan, jika istri yang seperti itu diingatkan, yang terjadi akan marah. Padahal, sudah menjadi kewajiban suami untuk mengingatkan, bila yang dilakukan sang istri itu tidak patut.
Memang sih, nonggo atau bertamu ke tetangga untuk mengobrolkan sesuatu dibolehkan. Tentunya dalam batas kewajaran. Jika kemudian sudah melampaui batas, tentu tidak baik. Bahkan bisa saja memunculkan pembahasan baru bernama ghibah.
Terlebih, di bulan suci Ramadan ini, kita diperintah untuk memperbayak amal kebaikan. Bila masih sama dengan sebelum Ramadan tiba, hingga kemudian berujung ghibah, tentu sangat rugi sekali sebagaimana penggambaran Allah, surat Alhujurat:12. Siapa yang menggunjing, diumpamakan seperti memakan daging saudaranya yang sudah mati.
Apalagi, jika kemudian disertai dengan hasad (rasa benci terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada orang lain). Penggambaran Nabi, bagai memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.
Lalu, apakah amal ibadah yang sudah susah payah dan capek-capek dikerjakan, ternyata langsung hangus, bagitu muncul sifat hasad dalam hati? Jadi, hindarilah apa saja hal yang berpotensi mengarah pada hal tersebut!
Catatan: Usman Roin
Semarang, 4 Ramadan 1441 H
Heheheheeh....... sabar... semoga mereka segera insyaf.... dan kembali kejalannya... 😘😘😘😘😘
BalasHapus