Suami: Imam "Baru" Keluarga
MENJADI-imam untuk keluarga seakan-akan memunculkan beban psikologis. Coba di angan-angan. Keluarga yang sudah saling tahu perilaku kebaikan hingga keburukan satu sama lain, perlu perjuangan ekstra untuk menyakinkan agar kepala rumah tangga bisa dan mampu menjadi imam salat saat pandemi Covid-19 terjadi.
Bahkan, penulis sempat melihat postingan dari sebuah IG, kala keluarga akan menjadi imam sunah tarawih, yang keluar selalu saja kalimat ‘usholli’ hingga terulang empat kali. Anaknya yang kecil ingin protes atas apa yang terjadi, namun hal itu dilarang oleh ibunya.
Realitas menjadi imam untuk keluarga, kali ini menjadi nyata dan ujian betul bagi para suami. Apalagi bila sebelumnya terdapat riuh pertengkaran kecil, maka salat sunah tarawih di rumah bersama keluarga bisa batal, beralih mandiri-mandiri, akibat sengketa kecil yang belum diakhiri.
Inilah ralitas yang terjadi, riil, belum lagi kalau suami tidak terbiasa dan tidak memiliki kemampuan menjadi imam. Inilah tantangan baru pelaksanaan ibadah sunah tarawih di rumah.
Meskipun begitu, juga tidak ada salahnya bagi suami yang belum terbiasa, kali ini adalah saatnya belajar. Mulai dari melancarkan hafalan surat-surat pendek, hingga kalaulah belum hafal doa selesai tarawih dan witir, dengan membaca lewat teks juga tidak masalah. Justru disinilah perjuangan besar, suami membuktikan bahwa ia bisa menjadi imam dalam hal ibadah untuk keluarganya sendiri.
Bagi yang sudah mampu, memperbaiki irama nada akan makin meningkatkan motivasi sunah tarawih bersama keluarga di rumah. Bila perlu, mulai dari awal dipatenkan, mau 23 atau cukup 11 rakaat. Karena justru kala opsi di rumah banyak rakaatnya, itu membuktikan bahwa yang diinginkan keluarga adalah peningkatan intensitas ibadah, tidak sekadar pada hal kuantitas. Melainkan lebih kepada kualitas berjamaah yang langka dilakukan oleh keluarga sebelum-sebelumnya.
Akhirnya, alangkah indahnya bila sang istri atau suami “menunggu” tidak hanya dalam hal kepulangan atau makan saja, melainkan pada hal salat berjamaah bisa saling menunggu, oleh karena pentingnya menjaga keluarga untuk istikamah salat berjamaah.
Catatan: Usman Roin
Semarang, 2 Ramadan 1441 H
Bahkan, penulis sempat melihat postingan dari sebuah IG, kala keluarga akan menjadi imam sunah tarawih, yang keluar selalu saja kalimat ‘usholli’ hingga terulang empat kali. Anaknya yang kecil ingin protes atas apa yang terjadi, namun hal itu dilarang oleh ibunya.
Realitas menjadi imam untuk keluarga, kali ini menjadi nyata dan ujian betul bagi para suami. Apalagi bila sebelumnya terdapat riuh pertengkaran kecil, maka salat sunah tarawih di rumah bersama keluarga bisa batal, beralih mandiri-mandiri, akibat sengketa kecil yang belum diakhiri.
Inilah ralitas yang terjadi, riil, belum lagi kalau suami tidak terbiasa dan tidak memiliki kemampuan menjadi imam. Inilah tantangan baru pelaksanaan ibadah sunah tarawih di rumah.
Meskipun begitu, juga tidak ada salahnya bagi suami yang belum terbiasa, kali ini adalah saatnya belajar. Mulai dari melancarkan hafalan surat-surat pendek, hingga kalaulah belum hafal doa selesai tarawih dan witir, dengan membaca lewat teks juga tidak masalah. Justru disinilah perjuangan besar, suami membuktikan bahwa ia bisa menjadi imam dalam hal ibadah untuk keluarganya sendiri.
Bagi yang sudah mampu, memperbaiki irama nada akan makin meningkatkan motivasi sunah tarawih bersama keluarga di rumah. Bila perlu, mulai dari awal dipatenkan, mau 23 atau cukup 11 rakaat. Karena justru kala opsi di rumah banyak rakaatnya, itu membuktikan bahwa yang diinginkan keluarga adalah peningkatan intensitas ibadah, tidak sekadar pada hal kuantitas. Melainkan lebih kepada kualitas berjamaah yang langka dilakukan oleh keluarga sebelum-sebelumnya.
Akhirnya, alangkah indahnya bila sang istri atau suami “menunggu” tidak hanya dalam hal kepulangan atau makan saja, melainkan pada hal salat berjamaah bisa saling menunggu, oleh karena pentingnya menjaga keluarga untuk istikamah salat berjamaah.
Catatan: Usman Roin
Semarang, 2 Ramadan 1441 H
Posting Komentar untuk "Suami: Imam "Baru" Keluarga"