Pandemi: Ujian Kesadaran Kita
ADA-hal yang menarik saat penulis membaca buku Fikih Pandemi: Beribadah di Masa Wabah, karya Faried F. Saenong, dkk., yang diterbitkan oleh NUO Publishing, Tahun 2020.
Buku ini walau sudah beredar versi PDF-nya di jagad medsos, namun penulis lebih mantap setelah mencetak atas buah oleh-oleh Ketua Dewan Masjid Indonesia Kota Semarang, H. Achmad Fuad.
Buku saku terkait bagaimana beribadah di masa pandemi ini cocok untuk melengkapi pemahaman penulis sebagai guidenlines, meminjam bahasa Prof. Nasaruddin Umar dalam pengantarnya. Tujuannya, ikut menahan ‘diri’ beribadah di rumah, tidak ke masjid.
Mengutip sedikit kalimat pada halaman 10-11, ulama dan pemerintah menganjurkan untuk salat di rumah. Anjuran beribadah di rumah menjadi new normal (keadaan normal baru yang bersifat sementara), yang sama sekali tidak menggugurkan pahala dan keutamaan berjamaah dalam ibadah.
Beribadah di rumah bahkan mendapat kelebihan pahala karena kebersamaan turut menghindarkan orang lain dari bahaya. Dasarnya ‘la dharara wa la dhirara’ bahwa ibadah tidak boleh berbahaya bagi dirinya atau membahayakan orang lain.
Jika demikian adanya, bila pembaca semua dianugerahi sebagai pemimpin hari ini, kemudian ‘rakyat’ tidak pada patuh terhadapnya, bagaimana perasaan pembaca sebagai pemimpin? Padahal, apa yang dilakukannya untuk memprioritaskan kemaslahatan bangsa. Apalagi, ketaatan kita pada pemimpin ulil amri adalah salah satu bentuk ketaatan kita juga kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah, surat an-Nisa:59.
Coba bayangkan, tidak usah jauh-jauh. Bila pembaca pemimpin keluarga, lalu tidak ditaati istri dan anak, bagaimana sakitnya? Tentu, sakitnya tuh di sini, di dalam hatiku, pas kena hatiku, jawab Cita Citata!
Di sinilah dibutuhkan kesadaran bersama, bahwa wabah Covid-19 adalah musuh bersama manusia. Kita yang beragama Islam juga diminta peran serta kesadarannya untuk ikut memutus mata rantai penyebarannya. Ya kita, keluarga kita, dan lingkungan kita dibutuhkan tindakan nyata untuk stay at home dalam ibadah.
Catatan: Usman Roin
Semarang, 6 Ramadan 1441 H
Buku ini walau sudah beredar versi PDF-nya di jagad medsos, namun penulis lebih mantap setelah mencetak atas buah oleh-oleh Ketua Dewan Masjid Indonesia Kota Semarang, H. Achmad Fuad.
Buku saku terkait bagaimana beribadah di masa pandemi ini cocok untuk melengkapi pemahaman penulis sebagai guidenlines, meminjam bahasa Prof. Nasaruddin Umar dalam pengantarnya. Tujuannya, ikut menahan ‘diri’ beribadah di rumah, tidak ke masjid.
Mengutip sedikit kalimat pada halaman 10-11, ulama dan pemerintah menganjurkan untuk salat di rumah. Anjuran beribadah di rumah menjadi new normal (keadaan normal baru yang bersifat sementara), yang sama sekali tidak menggugurkan pahala dan keutamaan berjamaah dalam ibadah.
Beribadah di rumah bahkan mendapat kelebihan pahala karena kebersamaan turut menghindarkan orang lain dari bahaya. Dasarnya ‘la dharara wa la dhirara’ bahwa ibadah tidak boleh berbahaya bagi dirinya atau membahayakan orang lain.
Jika demikian adanya, bila pembaca semua dianugerahi sebagai pemimpin hari ini, kemudian ‘rakyat’ tidak pada patuh terhadapnya, bagaimana perasaan pembaca sebagai pemimpin? Padahal, apa yang dilakukannya untuk memprioritaskan kemaslahatan bangsa. Apalagi, ketaatan kita pada pemimpin ulil amri adalah salah satu bentuk ketaatan kita juga kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah, surat an-Nisa:59.
Coba bayangkan, tidak usah jauh-jauh. Bila pembaca pemimpin keluarga, lalu tidak ditaati istri dan anak, bagaimana sakitnya? Tentu, sakitnya tuh di sini, di dalam hatiku, pas kena hatiku, jawab Cita Citata!
Di sinilah dibutuhkan kesadaran bersama, bahwa wabah Covid-19 adalah musuh bersama manusia. Kita yang beragama Islam juga diminta peran serta kesadarannya untuk ikut memutus mata rantai penyebarannya. Ya kita, keluarga kita, dan lingkungan kita dibutuhkan tindakan nyata untuk stay at home dalam ibadah.
Catatan: Usman Roin
Semarang, 6 Ramadan 1441 H
Posting Komentar untuk "Pandemi: Ujian Kesadaran Kita"