Pikir Punya Pikir ‘Stampel’ Buku
SIANG-ini, Sabtu (4/1/20), saya diminta untuk refill (isi tinta) stampel organisasi Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kota Semarang. Karena tidak memiliki isi ulang tintanya, akhirnya saya putuskan untuk mengisikan kepada ahli stampel yang tidak jauh dari tempat kerja.
Jasa tempat stampel modern itu adalah disalah satu swalayan ‘A..’ di Majapahit. Agar saya tidak kecelik dengan yang membuat, saya kemudian bertanya kepadanya di WA. Kebetulan sekali saya punya WA-nya. Tidak begitu lama, alhamdulillah direspon dengan jam buka yang jelas, yakni 14.30 Wib, setelah dia makan siang di warung yang tidak di sebutkan keberadannya.
Setelah saya ke lapak yang dimiliki di depan swalayan, keinginan saya untuk refill (isi ulang tinta) saya sampaikan. Jika satu warna Rp. 10.000, adapun kalau dua warna Rp. 20.000. Itulah keterangan resmi yang diberikan kepada saya.
Dalam proses refill stampel, saya sambil mengamati bagaimana caranya. Siapa tahu, saya sendiri bisa melakukannya. Setelah mengamati dan tahu, saya kepikiran, bagaimana kalau saya membuat stampel tanda pengenal untuk buku saya?
Bila dahulu, saya mempunyai masih dalam bentuk ‘label’, tetapi sekarang yang sudah modern, kiranya memakai stampel akan semakin mantap. Terlebih, koleksi buku saya, semakin hari semakin bertambah. Dari dulu yang hanya sak ‘iprit’ sekarang alhamdulillah, bisa digunakan modal untuk membuat perpustakaan pribadi.
Dengan sigap, saya meminta kepada abangnya, yang masih muda, ‘Baim’ namanya, untuk membuatkan. Mulai dari saya memilih wadah stempelnya, dari yang bulat, oval, dan kotak. Akhirnya saya putuskan memilih kotak, namun tidak seperti kotak pada umumnya desain wadah stampelnya.
Setelah proses pemilihan wadah stampel selesai, saya kemudian meminta contoh desain yang sudah ada. Dari yang kotak, atau bulat. Saya akhirnya menemukan desain kotak yang tepat dari segi kata-katanya, dengan menambahkan akun media sosial yang saya miliki sebagai identitas bila saya ini adalah kaum milenial.
Setelah 15 menit, jadilah stampel yang saya pesan. Dan hasilnya, bisa terlihat pada kertas uji coba yang telah disediakan. "Cakep", kata saya.
Dengan hasil yang memuaskan, kemudian saya bayar dan bergegas pulang dengan rasa tidak sabar ingin mencoba menstempelkan pada koleksi buku-buku yang saya miliki.
Sesampainya di kontrakan, saya kemudian menstempel satu persatu dan mendokumentasikan salah satu buku yang telah terstempel dengan android yang saya miliki. Tujuannya, hasil fotonya akan saya lampirkan pada tulisan yang saya buat ini.
Perlu pembaca ketahui, stampel kepemilikan buku yang saya miliki, hari ini, adalah kelengkapan yang sangat perlu. Jumlah buku yang banyak akan diketahui identitas pemiliknya dari tempelan atau stempel kepemilikan yang terpampang.
Jujur, mulai dari kuliah S1, saya suka membaca dan mengoleksi buku. Genre-nya pun beragam. Hanya yang dominan adalah terkait pendidikan sebagaimana latar belakang akademik saya yakni, Tarbiyah (Pendidikan). Lalu buku selanjutnya adalah tentang kepenulisan. Apa saja saya baca dan beli bila belum memiliki koleksinya.
Maka, bila sedang kuliner buku bersama istri, kadang kalau istri menemukan buku tentang menulis, dan itu belum saya miliki, mesti saya beli. Tidak lain sebagai penambah referensi, pengalaman. Karena problematika menulis seseorang itu beda-beda, hingga cara menyelesaikannya juga beda. Untuk itulah saya banyak mengoleksi buku tentang dunia tulis menulis yang tidak terasa sudah banyak sekali.
Keberadaan stampel selain sebagai ‘identitas’ pemilik, juga menegaskan, bila suatu saat dipinjam oleh sanak saudara, teman, pacar, mantan, dll., keinginan untuk memiliki atau meng ‘aku’ i itu tidak akan terjadi.
Karena jujur, buku-buku saya banyak yang dipinjam orang, tetapi karena tidak ada identitas yang resmi, paten, dan sulit hilang, akhirnya saya tidak bisa mengambil buku yang dipinjam orang lain. Saya ihlaskan saja sebagai amal jariyah.
Jadi, dengan stampel kepemilikan inilah, saya bisa menunjukkan kalau buku ini pemiliknya adalah saya. Karena membeli buku, membuat buku, hingga mengoleksi buku adalah investasi ‘pengetahuan’ sebagai bekal untuk mencerdaskan. Tidak hanya untuk diri, melainkan dipersiapkan untuk keluarga, anak cucu kita kelak di masa mendatang. Jadi, kenapa masih malu mengoleksi buku, kalau di sana-sana banyak yang sudah mengoleksi barang antik, hingga Istri? Uup..ha..ha..!
Oleh: Usman Roin
Penulis adalah Pengelola Abjad gurunulis.com
Jasa tempat stampel modern itu adalah disalah satu swalayan ‘A..’ di Majapahit. Agar saya tidak kecelik dengan yang membuat, saya kemudian bertanya kepadanya di WA. Kebetulan sekali saya punya WA-nya. Tidak begitu lama, alhamdulillah direspon dengan jam buka yang jelas, yakni 14.30 Wib, setelah dia makan siang di warung yang tidak di sebutkan keberadannya.
Setelah saya ke lapak yang dimiliki di depan swalayan, keinginan saya untuk refill (isi ulang tinta) saya sampaikan. Jika satu warna Rp. 10.000, adapun kalau dua warna Rp. 20.000. Itulah keterangan resmi yang diberikan kepada saya.
Dalam proses refill stampel, saya sambil mengamati bagaimana caranya. Siapa tahu, saya sendiri bisa melakukannya. Setelah mengamati dan tahu, saya kepikiran, bagaimana kalau saya membuat stampel tanda pengenal untuk buku saya?
Bila dahulu, saya mempunyai masih dalam bentuk ‘label’, tetapi sekarang yang sudah modern, kiranya memakai stampel akan semakin mantap. Terlebih, koleksi buku saya, semakin hari semakin bertambah. Dari dulu yang hanya sak ‘iprit’ sekarang alhamdulillah, bisa digunakan modal untuk membuat perpustakaan pribadi.
Dengan sigap, saya meminta kepada abangnya, yang masih muda, ‘Baim’ namanya, untuk membuatkan. Mulai dari saya memilih wadah stempelnya, dari yang bulat, oval, dan kotak. Akhirnya saya putuskan memilih kotak, namun tidak seperti kotak pada umumnya desain wadah stampelnya.
Setelah proses pemilihan wadah stampel selesai, saya kemudian meminta contoh desain yang sudah ada. Dari yang kotak, atau bulat. Saya akhirnya menemukan desain kotak yang tepat dari segi kata-katanya, dengan menambahkan akun media sosial yang saya miliki sebagai identitas bila saya ini adalah kaum milenial.
Setelah 15 menit, jadilah stampel yang saya pesan. Dan hasilnya, bisa terlihat pada kertas uji coba yang telah disediakan. "Cakep", kata saya.
Dengan hasil yang memuaskan, kemudian saya bayar dan bergegas pulang dengan rasa tidak sabar ingin mencoba menstempelkan pada koleksi buku-buku yang saya miliki.
Sesampainya di kontrakan, saya kemudian menstempel satu persatu dan mendokumentasikan salah satu buku yang telah terstempel dengan android yang saya miliki. Tujuannya, hasil fotonya akan saya lampirkan pada tulisan yang saya buat ini.
Perlu pembaca ketahui, stampel kepemilikan buku yang saya miliki, hari ini, adalah kelengkapan yang sangat perlu. Jumlah buku yang banyak akan diketahui identitas pemiliknya dari tempelan atau stempel kepemilikan yang terpampang.
Jujur, mulai dari kuliah S1, saya suka membaca dan mengoleksi buku. Genre-nya pun beragam. Hanya yang dominan adalah terkait pendidikan sebagaimana latar belakang akademik saya yakni, Tarbiyah (Pendidikan). Lalu buku selanjutnya adalah tentang kepenulisan. Apa saja saya baca dan beli bila belum memiliki koleksinya.
Maka, bila sedang kuliner buku bersama istri, kadang kalau istri menemukan buku tentang menulis, dan itu belum saya miliki, mesti saya beli. Tidak lain sebagai penambah referensi, pengalaman. Karena problematika menulis seseorang itu beda-beda, hingga cara menyelesaikannya juga beda. Untuk itulah saya banyak mengoleksi buku tentang dunia tulis menulis yang tidak terasa sudah banyak sekali.
Keberadaan stampel selain sebagai ‘identitas’ pemilik, juga menegaskan, bila suatu saat dipinjam oleh sanak saudara, teman, pacar, mantan, dll., keinginan untuk memiliki atau meng ‘aku’ i itu tidak akan terjadi.
Karena jujur, buku-buku saya banyak yang dipinjam orang, tetapi karena tidak ada identitas yang resmi, paten, dan sulit hilang, akhirnya saya tidak bisa mengambil buku yang dipinjam orang lain. Saya ihlaskan saja sebagai amal jariyah.
Jadi, dengan stampel kepemilikan inilah, saya bisa menunjukkan kalau buku ini pemiliknya adalah saya. Karena membeli buku, membuat buku, hingga mengoleksi buku adalah investasi ‘pengetahuan’ sebagai bekal untuk mencerdaskan. Tidak hanya untuk diri, melainkan dipersiapkan untuk keluarga, anak cucu kita kelak di masa mendatang. Jadi, kenapa masih malu mengoleksi buku, kalau di sana-sana banyak yang sudah mengoleksi barang antik, hingga Istri? Uup..ha..ha..!
Oleh: Usman Roin
Penulis adalah Pengelola Abjad gurunulis.com
Posting Komentar untuk "Pikir Punya Pikir ‘Stampel’ Buku"