Jadi Orang Tua Milenial
SUNGGUH-terbelalak mata dan hati penulis, saat melihat berita tentang dampak adiksi (kecanduan) game online. Pikir penulis, yang punya kecanduang hanya narkoba saja, ternyata game online juga berdampak candu bagi pemakainya. Hal itu sebagaimana kutipan berita jateng.tribunnews.com (29/10/19) yang penulis sertakan, menyebut bahwa selama tahun 2019, Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) dr. Amino Gundohutomo Kota Semarang sudah ada delapan pasien yang dirawat karena kecanduan game online.
Bahkan, saat ditangani oleh tim dokter kebanyakan dari mereka masuk sudah dalam kategori gangguan jiwa berat dan berusia sekolah hingga dewasa. Ada yang agresif, gampang marah ketika lepas dari gadget, hingga ada yang telanjang. Keadaan yang seperti ini tentu patut menjadi keprihatinan kita bersama sebagai orang tua.
Anak zaman now yang lekat dengan istilah ‘milenial’ dan pasti memiliki gadget tentu sangat riskan jika tidak diperhatikan seksama. Celakanya, tidak sedikit orang tua yang justru punya cara jitu mendiamkan anak (agar tidak rewel) dengan gadget. Mereka tidak sadar, jika banyak perilaku anak membantah, malas belajar, hingga berbuat hal negatif akibat sentuhan konten-konten gadget di luar pengetahuan orang tua.
Hanya saja, melihat gambaran nyata, riil, konkrit, bahkan kasuistiknya ada sebagaimana laporan RSJD di atas, nampaknya belum cukup untuk para orang tua agar lebih memerhatikan anaknya. Tidak sedikit sebab problem pekerjaan, banyak yang berpikir di sekolahkan full day untuk menghemat waktu anak agar terkontrol. Hanya saja perlu diingat, bagaimanapun orang tua juga perlu berperan. Karena jangan sampai orang tua hanya menunggu progres perubahan anak di sekolah, namun selama di rumah mereka abai dengan anaknya. Tentu ini jauh panggang dari api. Mau menciptakan generasi yang baik namun peran keluarga membisu, miskin teladan, hanya sekadar pemenuhan kebutuhan administrasi belaka.
Sebenarnya, peran orang tua yang seperti itu belumlah cukup di era zaman now. Era milenial, orang tua juga perlu memosisikan diri berperan sebagai orang tua milenialis. Caranya, bukan dengan sering update status yang bersifat ‘kesenangan’ seperti, berlibur, makan, shopping, dugem, melainkan perlu update status yang memiliki dampak positif, bukan hanya kepada teman namun terkhusus untuk anak-anak kita.
Terkait update status yang bersifat ‘kesenangan’ bagi penulis akan melahirkan presepsi melakukan hal yang sama, senang, senang, dan senang. Sebagai orang yang melihat tidak menyadari dan tanpa mau tahu, bahwa dibalik kesenangan tersebut ada proses yang tidak gampang untuk mencapainya. Celakanya, banyak yang tidak bisa menafsirkan hal tersebut, termasuk anak-anak kita. Alhasil, budaya malas, tidak mau berusaha, dan inginnya enak-enak saja lama kelamaan akan menjadi karakter buruk yang menggrogoti jiwa anak kita sendiri.
Oleh karena itu, peran kecil namun berdampak besar untuk keluarga kita, sudah saatnya orang tua memperbanyak update status belajar ‘membaca’ sebagai misal selama di rumah ke ranah medsos. Tujuannya agar perilaku yang kita tampakkan lewat update status tersebut menjalar juga kepada anak-anak kita untuk melakukan hal yang sama. Yakni, membaca, membaca dan membaca.
Hal itu juga sebagai bukti, bahwa orang tua yang cerdas akan memilih, dan menyaring sejak dini konten update status pribadinya. Karena yang terpikir bukan berapa kuantitasnya, melainkan sudah naik pada tahap kualitas update status yang akan dilakukan. Hal ini sebagaimana kata bapak pendidikan karakter, Thomas Lickona (2015:81) dalam bukunya Educating for Charakter bahwa “Kita perlu untuk mengendalikan diri kita sendiri –dari keinginan dan hasrat– untuk melakukan hal yang baik bagi orang lain.”
Dengan demikian, menjadi orang tua milenial sudah seharusnya meng-update status positif sebagai teladan anak-anak kita dan orang lain di sekitar kita. Jika bukan kita siapa lagi yang menjadi teladan mereka!
Oleh: Usman Roin
Penulis adalah Pengelola Abjad gurunulis.com
Bahkan, saat ditangani oleh tim dokter kebanyakan dari mereka masuk sudah dalam kategori gangguan jiwa berat dan berusia sekolah hingga dewasa. Ada yang agresif, gampang marah ketika lepas dari gadget, hingga ada yang telanjang. Keadaan yang seperti ini tentu patut menjadi keprihatinan kita bersama sebagai orang tua.
Anak zaman now yang lekat dengan istilah ‘milenial’ dan pasti memiliki gadget tentu sangat riskan jika tidak diperhatikan seksama. Celakanya, tidak sedikit orang tua yang justru punya cara jitu mendiamkan anak (agar tidak rewel) dengan gadget. Mereka tidak sadar, jika banyak perilaku anak membantah, malas belajar, hingga berbuat hal negatif akibat sentuhan konten-konten gadget di luar pengetahuan orang tua.
Hanya saja, melihat gambaran nyata, riil, konkrit, bahkan kasuistiknya ada sebagaimana laporan RSJD di atas, nampaknya belum cukup untuk para orang tua agar lebih memerhatikan anaknya. Tidak sedikit sebab problem pekerjaan, banyak yang berpikir di sekolahkan full day untuk menghemat waktu anak agar terkontrol. Hanya saja perlu diingat, bagaimanapun orang tua juga perlu berperan. Karena jangan sampai orang tua hanya menunggu progres perubahan anak di sekolah, namun selama di rumah mereka abai dengan anaknya. Tentu ini jauh panggang dari api. Mau menciptakan generasi yang baik namun peran keluarga membisu, miskin teladan, hanya sekadar pemenuhan kebutuhan administrasi belaka.
Sebenarnya, peran orang tua yang seperti itu belumlah cukup di era zaman now. Era milenial, orang tua juga perlu memosisikan diri berperan sebagai orang tua milenialis. Caranya, bukan dengan sering update status yang bersifat ‘kesenangan’ seperti, berlibur, makan, shopping, dugem, melainkan perlu update status yang memiliki dampak positif, bukan hanya kepada teman namun terkhusus untuk anak-anak kita.
Terkait update status yang bersifat ‘kesenangan’ bagi penulis akan melahirkan presepsi melakukan hal yang sama, senang, senang, dan senang. Sebagai orang yang melihat tidak menyadari dan tanpa mau tahu, bahwa dibalik kesenangan tersebut ada proses yang tidak gampang untuk mencapainya. Celakanya, banyak yang tidak bisa menafsirkan hal tersebut, termasuk anak-anak kita. Alhasil, budaya malas, tidak mau berusaha, dan inginnya enak-enak saja lama kelamaan akan menjadi karakter buruk yang menggrogoti jiwa anak kita sendiri.
Oleh karena itu, peran kecil namun berdampak besar untuk keluarga kita, sudah saatnya orang tua memperbanyak update status belajar ‘membaca’ sebagai misal selama di rumah ke ranah medsos. Tujuannya agar perilaku yang kita tampakkan lewat update status tersebut menjalar juga kepada anak-anak kita untuk melakukan hal yang sama. Yakni, membaca, membaca dan membaca.
Hal itu juga sebagai bukti, bahwa orang tua yang cerdas akan memilih, dan menyaring sejak dini konten update status pribadinya. Karena yang terpikir bukan berapa kuantitasnya, melainkan sudah naik pada tahap kualitas update status yang akan dilakukan. Hal ini sebagaimana kata bapak pendidikan karakter, Thomas Lickona (2015:81) dalam bukunya Educating for Charakter bahwa “Kita perlu untuk mengendalikan diri kita sendiri –dari keinginan dan hasrat– untuk melakukan hal yang baik bagi orang lain.”
Dengan demikian, menjadi orang tua milenial sudah seharusnya meng-update status positif sebagai teladan anak-anak kita dan orang lain di sekitar kita. Jika bukan kita siapa lagi yang menjadi teladan mereka!
Oleh: Usman Roin
Penulis adalah Pengelola Abjad gurunulis.com
Posting Komentar untuk "Jadi Orang Tua Milenial"