Seni Menulis
MENJADI-penulis kok tidak mikirin ‘what next’ karya tulis, itu perlu dipertanyakan. Menjadi penulis itu ‘gelar’ yang berat. Kalau hanya menulis karena tugas, tanggung jawab, ya hanya itu yang ia tulis. Tapi menjadi penulis yang betul-betul sebagai penulis, itu perlu rajin menangkap ide yang ber-seliweran dan datangnya tak diundang.
Namun naas, kadang ide menulis itu muncul saat tidak tepat. Hal itu, sebagaimana yang penulis alami. Saat berkendara pulang, tiba-tiba ide muncul. Jadilah penulis kelimpungan mau mencatat pakai apa? Padahal jalan lagi padat merayap. Ini artinya rizki dari Allah Swt berupa ‘ide menulis’ tidak boleh ditolak. ‘Min haitsu laa yahtasib’ atau tidak di-nyana-nyana. Kalau sudah begitu, maka mengandalkan daya ingat hingga sampai di rumah adalah solusinya.
Menjadi penulis juga kudu sering mancing-mancing ide tulisan yang tidak kunjung datang. Jika demikian, mondar-mandir, tertawa lepas dengan teman sambil nyruput kopi, bil hisab, atau meneropong langit secara telanjang, itulah yang dilakukan. Itu semua agar ide tulisannya jangan didahului penulis lain. 'Sakitnya tuh disini,' kata Cita Citata!
Memang, memikirkan esok apa yang ditulis itulah jiwa penulis. Oleh karena itu, penulis itu tensi seninya tinggi. Contoh konkrit, laptop jadul pun tidak perlu diganti karena membawa berkah. Justru semakin jadul sensasinya itu unlimited.
Belum lagi ngomongin tempat menulis. Sedikit bocoran, penulis sejati dimanapun tempatnya itu menulis. Mau di kafe, warung kopi, kampus, toko buku, tempat ibadah, kebun, pantai, di hotel, dll, yang dipikirkan adalah menata huruf-huruf yang berserakan menjadi kata. Jika ada penulis tapi disembarang tempat tidak memikirkan atau melakukan aktivitas menulis, perlu dipertanyakan seninya?
Kemudian gaya orang menulis. Penulis itu senang dengan gaya bebas dalam menulis. Yang penting tidak diganggu oleh tontonan televisi yang kadang bikin lupa waktu. Jadi kalau sedang menulis, ‘talak’ televisi adalah solusinya. Atau mencari waktu tengah malam setelah pukul 00.00 Wib yang hening banget.
Sampel lain sebagaimana teman penulis, Setia Naka Andrian dengan blog setianakaandrian.blogspot.com. Dari postingan Ig-nya ada gaya unik menulis. Saya saja sampai tak mampu manandingi pertapaan menulisnya. Sebab, menulisnya dengan kaki di atas kursi, menghadap laptop, persis gaya orang buang ‘sesuatu’ di kamar mandi. Itulah gaya yang tidak lazim namun menghasilkan tulisan.
Semoga Anda juga mempunyai seni menulis walau dengan variasi yang berbeda-beda. Kalau itu dibukukan akan menjadi bacaan sedap. Selamat membuahkan tulisan ya.
Oleh: Usman Roin
Penulis adalah Guru Ekskul Jurnalistik SMP Islam Terpadu PAPB Semarang, Editor Buku “Yang Melangit dari Kata: Kumpulan Kata Mutiara SMP IT PAPB Semarang,” Editor Buku “42 Renungan Inspiratif Kehidupan,” Editor serta Penulis Buku “Menjadi Guru: Sehimpun Catatan Guru Menulis,” Penulis Buku “Langkah Itu Kehidupan: 5 Langkah Hidup Bahagia,” Pengurus Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Jawa Tengah, Koord. Devisi Komunikasi & Hubungan Media Majelis Alumni IPNU Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur
Namun naas, kadang ide menulis itu muncul saat tidak tepat. Hal itu, sebagaimana yang penulis alami. Saat berkendara pulang, tiba-tiba ide muncul. Jadilah penulis kelimpungan mau mencatat pakai apa? Padahal jalan lagi padat merayap. Ini artinya rizki dari Allah Swt berupa ‘ide menulis’ tidak boleh ditolak. ‘Min haitsu laa yahtasib’ atau tidak di-nyana-nyana. Kalau sudah begitu, maka mengandalkan daya ingat hingga sampai di rumah adalah solusinya.
Menjadi penulis juga kudu sering mancing-mancing ide tulisan yang tidak kunjung datang. Jika demikian, mondar-mandir, tertawa lepas dengan teman sambil nyruput kopi, bil hisab, atau meneropong langit secara telanjang, itulah yang dilakukan. Itu semua agar ide tulisannya jangan didahului penulis lain. 'Sakitnya tuh disini,' kata Cita Citata!
Memang, memikirkan esok apa yang ditulis itulah jiwa penulis. Oleh karena itu, penulis itu tensi seninya tinggi. Contoh konkrit, laptop jadul pun tidak perlu diganti karena membawa berkah. Justru semakin jadul sensasinya itu unlimited.
Belum lagi ngomongin tempat menulis. Sedikit bocoran, penulis sejati dimanapun tempatnya itu menulis. Mau di kafe, warung kopi, kampus, toko buku, tempat ibadah, kebun, pantai, di hotel, dll, yang dipikirkan adalah menata huruf-huruf yang berserakan menjadi kata. Jika ada penulis tapi disembarang tempat tidak memikirkan atau melakukan aktivitas menulis, perlu dipertanyakan seninya?
Kemudian gaya orang menulis. Penulis itu senang dengan gaya bebas dalam menulis. Yang penting tidak diganggu oleh tontonan televisi yang kadang bikin lupa waktu. Jadi kalau sedang menulis, ‘talak’ televisi adalah solusinya. Atau mencari waktu tengah malam setelah pukul 00.00 Wib yang hening banget.
Sampel lain sebagaimana teman penulis, Setia Naka Andrian dengan blog setianakaandrian.blogspot.com. Dari postingan Ig-nya ada gaya unik menulis. Saya saja sampai tak mampu manandingi pertapaan menulisnya. Sebab, menulisnya dengan kaki di atas kursi, menghadap laptop, persis gaya orang buang ‘sesuatu’ di kamar mandi. Itulah gaya yang tidak lazim namun menghasilkan tulisan.
Semoga Anda juga mempunyai seni menulis walau dengan variasi yang berbeda-beda. Kalau itu dibukukan akan menjadi bacaan sedap. Selamat membuahkan tulisan ya.
Oleh: Usman Roin
Penulis adalah Guru Ekskul Jurnalistik SMP Islam Terpadu PAPB Semarang, Editor Buku “Yang Melangit dari Kata: Kumpulan Kata Mutiara SMP IT PAPB Semarang,” Editor Buku “42 Renungan Inspiratif Kehidupan,” Editor serta Penulis Buku “Menjadi Guru: Sehimpun Catatan Guru Menulis,” Penulis Buku “Langkah Itu Kehidupan: 5 Langkah Hidup Bahagia,” Pengurus Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Jawa Tengah, Koord. Devisi Komunikasi & Hubungan Media Majelis Alumni IPNU Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur
Ide menulis kadanng muncul di waktu-waktu yang tidak tepat Pak Usman, tetapi jika kita tidak menyimpannya dalam bentuk tulisan, akan hilang begitu saja. Paling tidak jika ada sedikit saja ide yang sedang kita pikirkan dituangkan dalam bentuk tulisan, tulisan yang sedikit itu bisa menjadi pemantik atau awal terbentuknya tulisan yang utuh.
BalasHapusBetul sekali, karena waktu yg tdk tepat, tp nulisnya kudu tepat waktu. Biar tak menguap begitu saja., 👍
Hapus